Persaingan Tak Sehat

Sumber gambar, Pinterest

Hujan yang turun sejak sore tadi masih menyisakan gerimis. Hawa dingin terasa menusuk tulang. Surau milik keluarga Haji Hasan yang telah diwakafkan untuk warga desa Sukoarjo tampak lengang meskipun azan magrib telah berkumandang. Biasanya banyak anak-anak yang akan bersholawat sebelum muazin menyerukan iqomah, tetapi kali ini entah kemana para bocah tersebut. Kemungkinan mereka memilih berdiam diri di rumah karena malas melewati jalanan yang becek. 

Beberapa saat kemudian barulah para jamaah orang dewasa mulai berdatangan ke surau yang diberi nama Hidayatullah tersebut. Itupun tidak seramai biasanya. Bahkan jamaah perempuan hanya ada enam orang saja. Lebih sedikit dari jamaah laki-laki yang jumlahnya tidak lebih dari lima belas orang. 

Muazin segera menyerukan iqomah. Salat berjamaah pun dimulai. Awalnya salat berjalan normal dan lancar. Namun, saat hampir selesai tiba-tiba terdengar suara tangis dari deretan shaf jamaah perempuan. 

Tangisan yang awalnya tersedu-sedu lambat laun menjadi raungan kencang. Sontak hal tersebut membuat orang-orang menoleh ke sumber suara saat salat telah selesai. Ternyata yang menangis adalah salah satu jamaah yang bernama Bu Tantri. 

"Sampean kenapa tho, Bu?" selidik Mak Ijah yang ada di sebelah Bu Tantri. 

Perempuan berlengan gempal itu mengusap punggung Bu Tantri berusaha menenangkan. Diluar dugaan, Bu Tantri menepis lengan Mak Ijah dengan kuat. Kemudian mengomel tak jelas sembari menyebut nama ustad Iksan sang imam yang tadi memimpin salat. 

Ustad Iksan adalah anak ke dua dari Haji Hasan. Kebetulan ia juga guru ngaji di surau Hidayatullah. Ilmunya dalam hal agama bisa dibilang sudah mumpuni. Laki-laki berusia lebih dari tiga puluhan itu juga kerap dimintai tolong warga jika ada yang sakit karena hal-hal gaib, seperti kerasukan atau kena santet. 

"Hei Iksan, sini kamu kalo berani lawan saya!" bentak Bu Tantri. 

Suara Bu Tantri terdengar parau. Sorot matanya tajam ke arah ustad Iksan. Mulutnya semakin meracau tidak jelas. Suasana di musala mendadak ramai. Seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun tergopoh-gopoh masuk ke musala menghampiri Bu Tantri. 

"Sudah, Bu, ayo pulang! Jangan begini di sini," ucap gadis tadi yang ternyata anak dari Bu Tantri. 

"Sebentar, Mbak Heni, biar Ibunya bicara dulu sama saya," pinta ustad Iksan. 

Heni menurut apa yang dikatakan ustad Iksan. Bu Tantri yang masih bertingkah tidak normal tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.

"Kamu berani sama saya ya, Iksan!" teriak Bu Tantri lagi. 

Ustad Iksan tampak membaca doa sembari membawa segelas air. Kemudian ditiupnya perlahan air itu, lalu diminumkan ke Bu Tantri dengan agak paksa. Perlahan Bu Tantri tampak normal. 

"Lho kok rame, ada apa tho ini?" tanya Bu Tantri seperti orang linlung. 

"Ibu tadi kenapa kok nantang-nantang ustad?" Ganti Heni bertanya pada ibunya. 

"Ah apa iya tho, Nduk?"

Orang-orang serempak mengiyakan pertanyaan Bu Tantri. Seketika Bu Tantri merasa sangat malu. Perempuan itu kemudian meminta maaf pada ustad Iksan. 

"Nggak apa-apa, Bu. Sekarang Bu Tantri pulang saja. Jangan banyak ngelamun ya, Bu. Besok saya coba ke rumah Bu Tantri. Mungkin nanti ada yang bisa saya bantu," ucap ustad Iksan. 

"Tapi Ibu saya beneran sudah nggak apa-apa ya, Tad? Saya takut nanti di rumah gitu lagi." Wajah Heni tampak masih cemas. 

"Insyaallah malam ini nggak apa-apa, Mbak. Besok insyaallah kita tahu penyebabnya kenapa Bu Tantri jadi begitu tiba-tiba."

"Sebenarnya sudah sejak dua hari lalu Ibu agak aneh. Tiba-tiba ngoceh sendiri, makanya nggak saya bolehin ke musala dulu takutnya ya begini. Ini tadi saya kecolongan, Tad. Ngapunten, nggih."

"Iya, Mbak. Sudah sekarang lebih baik ibunya segera diajak pulang dan suruh istirahat ya!"

Heni menuntun ibunya keluar dari musala. Orang-orang terdengar berbisik-bisik. Mereka bertanya-tanya tentang Bu Tantri yang tiba-tiba menjadi seperti orang gila.  

Bu Tantri termasuk salah satu orang terpandang di desa Sukoarjo. Sawahnya banyak tersebar di beberapa desa. Jika saat panen, perempuan berparas kalem itu selalu mengajak suaminya untuk berbagi pada tetangga. Tingkah lakunya juga dikenal sopan dan bersahaja. Hal tersebut membuat dirinya disayangi warga sekitar.

Beberapa bulan lalu Bu Tantri membuka usaha agen beras di rumahnya. Heni yang masih kuliah membantu usaha ibunya itu dengan promosi melalui medsos. Sehingga usaha mereka menjadi lancar karena memiliki banyak pelanggan. 

Karena usaha yang dirintisnya sukses, Bu Tantri semakin gemar bersedekah. Apalagi pada tetangga di sekitarnya. Orang-orang jadi semakin menghormati dan menyayangi keluarga Bu Tantri. Usaha Bu Tantri pun semakin berkembang pesat.  

*****

Keesokan harinya, belum sempat ustad Iksan menghampiri rumah Bu Tantri, tiba-tiba perempuan berperawakan kecil itu bertingkah lagi seperti orang gila. Heni yang tidak bisa mengatasi keadaan segera berlari ke rumah ustad Iksan yang jaraknya tidak begitu jauh. 

"Assalamualaikum, Tad. Tolong Ibu saya, Tad. Ibu teriak-teriak lagi seperti orang gila," rengek Heni.

Tanpa banyak kata, ustad Iksan segera pergi ke rumah Bu Tantri. Saat tiba di sana terdengar ocehan dan sumpah serapah tidak jelas dari mulut perempuan yang biasanya pendiam itu. 

"Warti itu lho yang ganggu aku, San. Kamu tahu 'kan San?" ucap Bu Tantri sambil menunjuk-nunjuk pemuda di hadapannya.

Ustad Iksan tampak mengernyitkan dahi. Ia mulai melihat sekeliling rumah Bu Tantri sembari berdoa. Setelah itu sekali lagi Bu Tantri diberikan segelas air yang sudah dibacakan doa oleh ustad Iksan. Perlahan Bu Tantri menjadi tenang kembali. 

"Lho, saya kenapa lagi Ustad?" tanya Bu Tantri yang bingung karena melihat ustad Iksan ada di rumahnya. 

"Nggak apa-apa, Bu. Cuma ada yang sedikit jahil sama keluarga Ibu."

"Kenapa begitu, Tad. Padahal keluarga kami nggak pernah mengganggu orang lain?" tanya Heni.

"Iya, Mbak. Kemungkinan ada yang iri sama keluarga Mbak Heni. Kalo bisa ibadahnya lebih giat lagi ya, Mbak. Banyak-banyak dzikir dan berdoa minta pertolongan sama Allah."

"Lha itu tadi Ibu nyebut nama Bu Warti. Apa kira-kira Bu Warti yang buat Ibu jadi begitu ya, Tad?" tanya Heni lagi. 

"Saya nggak berani memastikan, Mbak. Pokoknya sampean hati-hati saja. Insyaallah nanti saya bantu doa ya. Sekarang saya pamit dulu."

"Nggih, matur nuwun, Tad."

Ustad Iksan pun keluar dari rumah bergaya Jawa kuno itu. Saat tiba di pintu pagar, Ustad Iksan melihat Bu Warti yang rumahnya berada tepat di depan rumah Bu Tantri sedang berdiri di halaman. Seketika Bu Warti membuang pandang. Ustad Iksan hanya tersenyum, kemudian berlalu dari tempat itu. 


Sebelum Bu Tantri punya usaha agen beras, Bu Warti lebih dulu membuka toko sembako. Awalnya usaha Bu Warti lancar, karena harga barang yang dijual sedikit lebih murah dari toko lain. Banyak pelanggan yang membeli beras di tempatnya. Namun, lambat laun pelanggannya berkurang karena ada yang merasa Bu Warti bertindak curang. Beras yang ditawarkan dengan yang diberikan ke pelanggan memiliki kualitas berbeda. Saat menawarkan ke pembeli beras yang ditunjukkan bagus, tetapi yang diberikan barangnya ternyata lebih jelek. 

Ketika Bu Tantri membuka usaha, beberapa pelanggan Bu Warti beralih. Bu Tantri yang lebih jujur tentu lebih disukai. Toko Bu Warti lambat laun semakin sepi meskipun masih ada beberapa orang yang membeli barang selain beras di tokonya. 

Melihat usaha tetangga depan rumahnya semakin sukses, rupanya menjadikan Bu Warti gelap mata dan iri. Apalagi banyak orang yang mengelu-elukan kebaikan Bu Tantri. Perempuan kerempeng itu meminta bantuan pada orang pintar untuk membuat Bu Tantri agar menjadi seperti orang gila, dan keinginannya itu berhasil. 

*****

Satu bulan telah berlalu. Keadaan Bu Tantri kian membaik. Perempuan lemah lembut itu sudah tak pernah lagi mengamuk. Sementara keadaan Bu Warti yang kini agak mengkhawatirkan. 

Sejak kejadian Bu Tantri mengamuk di rumahnya, orang-orang rupanya berkasak-kusuk membicarakan Bu Warti. Kebetulan ada orang yang mendengar teriakan Bu Tantri saat menyebut nama Bu Warti. Orang-orang menjadi malas untuk belanja di toko perempuan culas itu. 

Toko Bu Warti semakin sepi pembeli karena ulahnya sendiri. Hal itu membuatnya semakin uring-uringan dan terkadang ngomel sendiri seperti orang gila. Bukankah setiap perbuatan baik atau buruk akan kembali kepada pelakunya. 

Tamat